Menyulut Takut, Bukan Penakut

https://faidahislamiyyah.blogspot.com/2015/04/menyulut-takut-bukan-penakut.html
Oleh Brilly El-Rasheed
Inspirator Golden Manners
Tidak
selamanya rasa takut itu tanda pengecut. Pepatah Jawa menasehatkan, “Dadio wong
sing titi lan waspodo!” Jadilah orang yang hati-hati dan waspada! Rasa
takutlah yang bisa mewujudkan keduanya secara sinergis. Allah telah menjanjikan
kemenangan bagi orang-orang yang berhasil selalu menghadirkan rasa takut dalam
qalbunya.
{ وَلَنُسْكِنَنَّكُمُ
الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ (14) }
[إبراهيم: 14]
“Dan
sungguh Kami akan benar-benar jadikan mereka berkuasa di muka bumi setelah itu.
Bagi mereka yang takut dengan kedudukan-Ku dan peringatan-Ku.” [QS.
Ibrahim: 14]
Dalam QS. Al-Anbiya`: 105, Allah juga menjanjikan
kemenangan itu bagi orang-orang shalih. Dengan demikian rasa takut kepada Allah
adalah bagian dari bekal orang-orang shalih. Begitu pun dalam QS. An-Naziat:
38-41 dan Ar-Rahman: 46. Ini mengindikasikan yang namanya takut itu harusnya
membimbing pemiliknya kepada keshalihan bukan sebaliknya.
Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib (19/77) mengidentifikasi
beberapa makna kedudukan Allah dalam ayat tersebut. Pertama: bermakna kedudukan
Allah ketika berlangsung hisab. Kedua: bermakna qiyamah. Ketiga: bermakna
ketegasan Allah dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Artinya, kita
tertuntut untuk senantiasa takut lantaran melihat kedudukan Allah yang sangat
agung tatkala hisab berlangsung dimana ketika itu kita tidak akan dapat
berbicara kecuali mendapat izinNya dan pada hari itu seluruh kekuasaan apapun
ada di tanganNya. Kita juga tertuntut untuk takut kepada kejadian-kejadian
mengerikan saat berlangsungnya kehancuran semesta dan apapun yang ada di dalamnya.
Al-Munawi menyebutkan dari sebagian orang-orang bijak,
“Takut (kepada Allah) itu ada dua macam, takut karena siksaNya dan takut karena
keagunganNya. Biasanya takut yang pertama itu dimiliki orang-orang eksoteris,
sementara takut yang kedua itu dimiliki orang yang memiliki qalbu yang baik.
Takut yang pertama bisa saja hilang sementara yang kedua tidak akan hilang
(atas izin Allah).” [Faidh Al-Qadir 4/495]
Yang menjadi titik tekannya adalah sebesar rasa takut kita
kepada Allah, maka sebesar itu pula kepatuhan kita kepada Allah. Semakin takut,
semakin patuh. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
مَنْ
خَافَ أَدْلَجَ، وَمَنْ أَدْلَجَ بَلَغَ الْمَنْزِلَ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ
غَالِيَةٌ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الجَنَّةُ
“Barangsiapa takut, dia akan berjalan
sangat hati-hati. Barangsiapa hati-hati, dia akan segera sampai. Ketahuilah
komoditi Allah itu mahal. Ketahuilah komoditi Allah itu surga.” [Sunan
At-Tirmidzi no. 2450]
Dalam Faidh
Al-Qadir (6/123), Al-Munawi menjelaskan, “Barangsiapa takut kepada Allah, maka
berbagai kebaikan akan datang kepadanya. Dan barangsiapa aman, maka dia akan
dilindungi dari segala keburukan, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Kasysyaf. Diuraikan dalam Ar-Riyadh, yang dimaksud adalah ketekunan dalam
taat. Dalam At-Targhib diterangkan, maknanya adalah barangsiapa takut kepada
Allah maka hal itu akan menjadikannya takut dalam menjalani suluk (perjalanan)
menuju Akhirat dan bersegera dalam beramal shalih, dengan ketakutan yang penuh.
Dikatakan maknanya adalah motivasi melaksanakan qiyamul lail dimana seseorang
menjadikan qiyamul lailnya sebagai indikasi ketakutan kepada Allah, karena
orang yang takut akan sangat hati-hati yakni ketakutan tersebut mencegahnya
dari tidur malam dan siang.... sampai-sampai dia tidak istirahat hingga dia
mencapai cita-citanya (yakni surga).”
Editor: Muhammad Sutrisno, S.Pd
Admin: Muhammad Maftuhin
Dapat dipesan melalui 081515526665 atua 082140888638