Manajemen itu Penting



عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ اَلْغِفَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((ياَ أَباَ ذَرٍّ، لاَ عَقْلَ كاَلتَّدْبِيْرِ، وَلاَ وَرَعَ كَالْكَفِّ، وَلاَ حَسَبَ كَحُسْنِ الْخُلـُقِ)) [رواه البيهقي في شعب الإيمان]
Dari Abu Dzarr Al-Ghifariy t dia berkata, rasulullah r bersabda, “Wahai Abu Dzarr! Tidak ada akal yang lebih bagus ketimbang pandai mengatur. Tidak ada wara` yang bagusnya seperti menahan diri (dari kemaksiatan). Dan tidak ada kemuliaan leluhur yang bagusnya seperti akhlaq mulia.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu`abul Iman)

Saudara yang dimuliakan Allah I...

Hadits ini mengandung tiga pokok pembahasan. Masing-masing pembahasannya mengandung ilmu yang sangat penting.
Pembahasan pertama, menjelaskan tentang akal, pengaru-pengaruh, dan tanda-tandanya. Dan sesungguhnya akal yang dipuji dalam Al-Qur`an juga As-Sunnah, adalah sebuah kekuatan dan nikmat yang diberikan Allah I kepada hamba. Yang dengannya sang hamba bisa memikirkan hal-hal yang bermanfaat, meraih ilmu dan pengetahuan, serta mencegah dan menghalangi diri dari perkara-perkara buruk dan mencelakakan.
Jadi, akal ini sangat penting bagi manusia. Manusia tidak pernah merasa kaya dari akal tersebut pada setiap keadaannya; keadaan agama maupun dunia. Sebab, dengan akal itu ia bisa mengenal sesuatu yang berguna dan jalan untuk menuju kesana. Ia juga bisa mengerti mana hal-hal yang berbahaya dan bagaimana cara menyelamatkan diri dari bahaya itu. Dan akal apa pun, kita bisa mengetahuinya lewat pengaruh-pengaruh yang dihasilkannya.
Dalam hadits ini, rasulullah r menjelaskan pengaruh-pengaruh baik yang dihasilkan oleh akal tersebut. Beliau bersabda,
((لاَ عَقْلَ كاَلتَّدْبِيْرِ))
“Tidak ada akal (yang bagusnya) seperti (pandai) mengatur.”
Maksud hadits ini, adalah pengaturan yang dilakukan hamba berkenaan dengan masalah-masalah agama dan dunianya.
Maka... bentuk pengaturannya terhadap masalah agama, dia selalu berusaha mengenali jalan yang lurus dan mengetahui apa saja yang dibawa nabi Muhammad yang mulia r dari akhlaq, tuntunan, dan kepribadian. Setelah itu ia berusaha menapaki dan mengerjakannya secara teratur dan rapi. Sebagaimana beliau bersabda,
((اسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ، وَالْقَصْدَ، اَلْقَصْدَ تَبْلُغُوْا))
“Jangan lupa beramal di pagi hari, sore hari, dan sedikit pada permulaan malam.Sedang-sedanglah dalam beramal! sedang-sedanglah dalam beramal! Niscaya kalian sampai pada tujuan.
Penjabaran hadits ini, juga penjelasan tentang jalan yang ditunjukkan rasulullah r kepada kita, telah kami sebutkan pada pembahasan yang lalu. Dan sesungguhnya jalan ini, adalah jalan sangat mudah yang menyampaikan kita kepada Allah I, dan menyampaikan kita kepada rumah kemuliaan (surga) dengan mudah dan santai.
Juga... sesungguhnya jalan itu, tidak menjadikan seorang hamba kehilangan kesenangan dan hal-hal duniawinya. Tetapi sebaliknya, dengan jalan ini sang hamba bisa meraih dua kemaslahatan, bisa sukses dengan dua kebahagiaan, dan menggapai kehidupan yang menyenangkan.
Maka, kapan pun sang hamba mengatur perkara-perkara agamanya dengan mizan (timbangan) syar`i ini, berarti menjadi sempurna agama dan akalnya. Sebab yang diharap dari akal, adalah menyampaikan pemilik akal itu kepada akibat-akibat terpuji dengan cara paling dekat dan paling mudah.
Kemudian... tentang mengatur kehidupan. Seseorang yang berakal pasti selalu berusaha mencari rizqi dengan cara paling jelas, yang menurutnya lebih bermanfaat dan lebih berguna bagi dirinya untuk meraih tujuan yang dimaksud. Ia tidak seenaknya mengerjakan sebab-sebab seperti orang yang berjalan di malam hari tanpa petunjuk, yang tidak ada keputusan. Tetapi setiap ia melihat satu sebab, yang dengan sebab itu terbuka pintu rizqi untuknya, ia segera menetapi dan menekuninya, diiringi dengan permohonan (doa) yang baik kepada Allah I. Maka dalam hal ini, pasti banyak sekali barakahnya.
Setelah itu ia melakukan pengaturan yang lain. Yaitu pengaturan dalam hal belanja dan menginfakkan. Ia tidak pernah menginfakkan harta pada jalan-jalan yang haram, atau pada jalan yang tidak bermanfaat, atau berlebihan dalam membelanjakannya pada hal-hal yang mubah, atau mungkin berlaku sangat bakhil. Tetapi mizan (pedoman) yang ditetapinya dalam hal itu adalah firman Allah I,  “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqaan: 67)
Jadi, pengaturan yang baik dalam mencari rizqi dan pengaturan yang baik dalam berinfaq, belanja, menyimpan, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan itu, adalah bukti atas kesempurnaan akal seseorang, kecerdasan, dan kelurusannya.
Sedangkan kebalikan hal itu, adalah bukti atas kekurangan akal dan kerusakan nuraninya.
Pembahasan kedua, sabda nabi r yang berbunyi,
((وَلاَ وَرَعَ كَالْكَفِّ))
“Dan tidak ada sifat wara` (yang bagusnya) seperti menahan diri (dari kemaksiatan).”
Sabda beliau ini, adalah definisi paling baik buat sifat “Wara`”. Disini beliau r menjelaskan bahwa wara` yang hakiki adalah seseorang yang bisa menahan dirinya, hati, lidah, dan seluruh anggota badannya dari perkara-perkara haram yang membahayakan.
Jadi! Setiap ucapan para ulama ketika menafsirkan kata “Wara`”, kembalinya pasti kepada tafsiran nabi r yang sangat jelas dan jami` ini.
Maka... barangsiapa memelihara hatinya dari hal-hal meragukan dan syubhat, menjaganya dari syahwat yang diharamkan, dari rasa dengki, iri hati, dan segala akhlaq tercela.
Serta menjaga lidahnya dari ghibah (menggunjing), namimah, berdusta, dan mencela.
Juga menjaganya dari setiap dosa, gangguan, dan kata-kata yang haram.
Serta menjaga kemaluan dan pandangannya dari hal-hal haram, menjaga perutnya dari makanan-makanan haram, juga menjaga anggota badannya dari perbuatan-perbuatan dosa, maka inilah wara` yang sebenarnya.
Tapi, barangsiapa menyia-nyiakan sesuatu dari hal di atas, berarti sifat wara`nya berkurang sesuai dengan kadar yang disia-siakan itu. Karena inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
"اَلْوَرَعُ تَرْكُ مَا يُخْشَى ضَرَرُهُ فِي اْلآخِرَةِ"
“Sifat wara` adalah meninggalkan segala perbuatan yang dikawatirkan bahayanya di akhirat.”
Pembahasan ketiga, yaitu sabda nabi r yang berbunyi,
((وَلاَ حَسَبَ كَحُسْنِ الْخُلـُقِ))
“Tidak ada kemuliaan leluhur yang bagusnya seperti akhlaq terpuji.”
Demikian itu, karena hasab (kemuliaan leluhur) memiliki kedudukan yang tinggi di sisi para makhluk. Sedangkan orang yang memiliki hasab, ia memiliki kemuliaan dan pertimbangan di sisi manusia sesuai dengan hasab yang dimilikinya.
Hasab ini ada dua macam. Hasab pertama, adalah hasab yang bertautan dengan kedudukan manusia dan ketinggian keluarganya. Hasab seperti ini, hanya berupa pujian. Karena manusia menduga bahwa pemiliknya akan mengerjakan hal-hal yang dituntut oleh hasabnya. Seperti menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina dan selalu berhias dengan akhlaq terpuji. Dari sisi inilah para manusia memandangnya.
Sedangkan hasab kedua, adalah hasab haqiqi yang berupa suatu sifat yang terus melekat pada seorang hamba, dan itu merupakan keindahan serta perhiasan yang ada pada dirinya. Hasab ini sangat baik buat agama dan dunia. Hasab ini berupa akhlaq mulia yang mencakup; kemurahan hati yang luas, sabar, pemaaf, selalu berbuat baik dan ihsan, memaafkan gangguan dan keburukan orang lain, serta menggauli segala tingkatan manusia dengan akhlaq yang baik.
Kita juga bisa mengatakan bahwa akhlaq mulia itu terbagi menjadi dua. Pertama, akhlaq mulia bersama Allah I. Yaitu jika seorang hamba menghadapi hukum-hukum Allah I yang syar`iyyah maupun qadariyyah dengan penuh keridhaan, menerima ketentuan-Nya, patuh terhadap syariat-Nya dengan penuh tuma`ninah dan keridhaan, serta mensyukuri Allah I atas segala nikmat yang dikaruniakan terhadap dirinya. Apakah itu berupa perintah, taufiq, atau bersabar dan ridha atas taqdir yang pahit.
Kedua, akhlaq mulia bersama makhluk. Yaitu memberikan harta yang dimiliki, bersabar atas gangguan, dan tidak memberikan gangguan kepada siapa pun. Seperti firman Allah I yang berbunyi, “Jadilah engkau seorang yang pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, dan jangan dimasukkan ke dalam hati perbuatan orang-orang yang bodoh itu.” (QS. Al-A`raaf: 199) Juga firman-Nya, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga seseorang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, tiba-tiba ia menjadi seperti seorang teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik, tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat: 34-35)
Jadi, barangsiapa melaksanakan akhlaq mulia bersama Allah I dan bersama para makhluk, berarti ia telah mendapat kebaikan dan keberuntungan. Allahu a`lam.

Dikutip dari Syarah Lengkap 99 Hadits Perihal Amaliyah Muslim Sehari-hari, PT. EFMS, Surabaya, Jawa Timur. Dapatkan bukunya sebagai pedoman hidup sehari-hari.

Dukung dakwah kami dengan doa, komentar dan dukungan finansial.


Admin: Ali Akbar

Related

FIQIH 8111592760519533814

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Assalamu'alaikum

Selamat datang di Faidah Islamiyyah. Semoga apa yang kami sajikan bermanfaat untuk Anda. Sampaikan saran dan komentar melalui 081515526665 atau 082140888638!
Please install the Flash Plugin

Hot in week

Comments

Citizen Journalist

Kirim tulisan inspiratif Anda melalui faidahislamiyyah@gmail.com. Sertakan identitas dan blog Anda.
item