Manajemen itu Penting
https://faidahislamiyyah.blogspot.com/2014/09/manajemen-itu-penting.html
عَنْ
أَبِيْ ذَرٍّ اَلْغِفَارِيِّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((ياَ
أَباَ ذَرٍّ، لاَ عَقْلَ كاَلتَّدْبِيْرِ، وَلاَ وَرَعَ كَالْكَفِّ، وَلاَ حَسَبَ
كَحُسْنِ الْخُلـُقِ)) [رواه البيهقي في شعب الإيمان]
Dari Abu Dzarr
Al-Ghifariy t dia berkata, rasulullah r bersabda, “Wahai Abu
Dzarr! Tidak ada akal yang lebih bagus ketimbang pandai mengatur. Tidak ada
wara` yang bagusnya seperti menahan diri (dari kemaksiatan). Dan tidak ada
kemuliaan leluhur yang bagusnya seperti akhlaq mulia.” (HR. Al-Baihaqi dalam
Syu`abul Iman)
Saudara yang dimuliakan
Allah I...
Hadits ini mengandung
tiga pokok pembahasan. Masing-masing pembahasannya mengandung ilmu yang sangat
penting.
Pembahasan pertama, menjelaskan
tentang akal, pengaru-pengaruh, dan tanda-tandanya. Dan sesungguhnya akal yang
dipuji dalam Al-Qur`an juga As-Sunnah, adalah sebuah kekuatan dan nikmat yang
diberikan Allah I kepada hamba. Yang dengannya sang hamba
bisa memikirkan hal-hal yang bermanfaat, meraih ilmu dan pengetahuan, serta
mencegah dan menghalangi diri dari perkara-perkara buruk dan mencelakakan.
Jadi, akal ini sangat
penting bagi manusia. Manusia tidak pernah merasa kaya dari akal tersebut pada
setiap keadaannya; keadaan agama maupun dunia. Sebab, dengan akal itu ia bisa
mengenal sesuatu yang berguna dan jalan untuk menuju kesana. Ia juga bisa
mengerti mana hal-hal yang berbahaya dan bagaimana cara menyelamatkan diri dari
bahaya itu. Dan akal apa pun, kita bisa mengetahuinya lewat pengaruh-pengaruh
yang dihasilkannya.
Dalam hadits ini,
rasulullah r menjelaskan pengaruh-pengaruh baik yang
dihasilkan oleh akal tersebut. Beliau bersabda,
((لاَ عَقْلَ كاَلتَّدْبِيْرِ))
“Tidak ada akal
(yang bagusnya) seperti (pandai) mengatur.”
Maksud hadits ini,
adalah pengaturan yang dilakukan hamba berkenaan dengan masalah-masalah agama
dan dunianya.
Maka... bentuk
pengaturannya terhadap masalah agama, dia selalu berusaha mengenali jalan yang
lurus dan mengetahui apa saja yang dibawa nabi Muhammad yang mulia r dari akhlaq, tuntunan,
dan kepribadian. Setelah itu ia berusaha menapaki dan mengerjakannya secara
teratur dan rapi. Sebagaimana beliau bersabda,
((اسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ
الدُّلْجَةِ، وَالْقَصْدَ، اَلْقَصْدَ تَبْلُغُوْا))
“Jangan lupa beramal di pagi hari, sore
hari, dan sedikit pada permulaan malam.Sedang-sedanglah dalam beramal!
sedang-sedanglah dalam beramal! Niscaya kalian sampai pada tujuan.”
Penjabaran hadits ini,
juga penjelasan tentang jalan yang ditunjukkan rasulullah r kepada kita, telah
kami sebutkan pada pembahasan yang lalu. Dan sesungguhnya jalan ini, adalah
jalan sangat mudah yang menyampaikan kita kepada Allah I, dan menyampaikan kita
kepada rumah kemuliaan (surga) dengan mudah dan santai.
Juga... sesungguhnya
jalan itu, tidak menjadikan seorang hamba kehilangan kesenangan dan hal-hal
duniawinya. Tetapi sebaliknya, dengan jalan ini sang hamba bisa meraih dua
kemaslahatan, bisa sukses dengan dua kebahagiaan, dan menggapai kehidupan yang
menyenangkan.
Maka, kapan pun sang
hamba mengatur perkara-perkara agamanya dengan mizan (timbangan) syar`i ini,
berarti menjadi sempurna agama dan akalnya. Sebab yang diharap dari akal,
adalah menyampaikan pemilik akal itu kepada akibat-akibat terpuji dengan cara
paling dekat dan paling mudah.
Kemudian... tentang
mengatur kehidupan. Seseorang yang berakal pasti selalu berusaha mencari rizqi
dengan cara paling jelas, yang menurutnya lebih bermanfaat dan lebih berguna
bagi dirinya untuk meraih tujuan yang dimaksud. Ia tidak seenaknya mengerjakan
sebab-sebab seperti orang yang berjalan di malam hari tanpa petunjuk, yang
tidak ada keputusan. Tetapi setiap ia melihat satu sebab, yang dengan sebab itu
terbuka pintu rizqi untuknya, ia segera menetapi dan menekuninya, diiringi
dengan permohonan (doa) yang baik kepada Allah I. Maka dalam hal ini,
pasti banyak sekali barakahnya.
Setelah itu ia
melakukan pengaturan yang lain. Yaitu pengaturan dalam hal belanja dan
menginfakkan. Ia tidak pernah menginfakkan harta pada jalan-jalan yang haram,
atau pada jalan yang tidak bermanfaat, atau berlebihan dalam membelanjakannya
pada hal-hal yang mubah, atau mungkin berlaku sangat bakhil. Tetapi mizan
(pedoman) yang ditetapinya dalam hal itu adalah firman Allah I, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqaan: 67)
Jadi, pengaturan yang
baik dalam mencari rizqi dan pengaturan yang baik dalam berinfaq, belanja,
menyimpan, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan itu, adalah bukti atas
kesempurnaan akal seseorang, kecerdasan, dan kelurusannya.
Sedangkan kebalikan hal
itu, adalah bukti atas kekurangan akal dan kerusakan nuraninya.
Pembahasan kedua, sabda
nabi r yang berbunyi,
((وَلاَ وَرَعَ كَالْكَفِّ))
“Dan tidak ada
sifat wara` (yang bagusnya) seperti menahan diri (dari kemaksiatan).”
Sabda beliau ini,
adalah definisi paling baik buat sifat “Wara`”. Disini beliau r menjelaskan bahwa
wara` yang hakiki adalah seseorang yang bisa menahan dirinya, hati, lidah, dan
seluruh anggota badannya dari perkara-perkara haram yang membahayakan.
Jadi! Setiap ucapan
para ulama ketika menafsirkan kata “Wara`”, kembalinya pasti kepada tafsiran
nabi r yang sangat jelas dan jami` ini.
Maka... barangsiapa
memelihara hatinya dari hal-hal meragukan dan syubhat, menjaganya dari syahwat
yang diharamkan, dari rasa dengki, iri hati, dan segala akhlaq tercela.
Serta menjaga lidahnya
dari ghibah (menggunjing), namimah, berdusta, dan mencela.
Juga menjaganya dari
setiap dosa, gangguan, dan kata-kata yang haram.
Serta menjaga kemaluan
dan pandangannya dari hal-hal haram, menjaga perutnya dari makanan-makanan
haram, juga menjaga anggota badannya dari perbuatan-perbuatan dosa, maka inilah
wara` yang sebenarnya.
Tapi, barangsiapa
menyia-nyiakan sesuatu dari hal di atas, berarti sifat wara`nya berkurang
sesuai dengan kadar yang disia-siakan itu. Karena inilah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata,
"اَلْوَرَعُ تَرْكُ مَا يُخْشَى ضَرَرُهُ فِي
اْلآخِرَةِ"
“Sifat wara`
adalah meninggalkan segala perbuatan yang dikawatirkan bahayanya di akhirat.”
Pembahasan ketiga,
yaitu sabda nabi r yang berbunyi,
((وَلاَ حَسَبَ كَحُسْنِ الْخُلـُقِ))
“Tidak ada
kemuliaan leluhur yang bagusnya seperti akhlaq terpuji.”
Demikian itu, karena
hasab (kemuliaan leluhur) memiliki kedudukan yang tinggi di sisi para makhluk.
Sedangkan orang yang memiliki hasab, ia memiliki kemuliaan dan pertimbangan di
sisi manusia sesuai dengan hasab yang dimilikinya.
Hasab ini ada dua
macam. Hasab pertama, adalah hasab yang bertautan dengan kedudukan manusia dan
ketinggian keluarganya. Hasab seperti ini, hanya berupa pujian. Karena manusia
menduga bahwa pemiliknya akan mengerjakan hal-hal yang dituntut oleh hasabnya.
Seperti menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina dan selalu berhias dengan
akhlaq terpuji. Dari sisi inilah para manusia memandangnya.
Sedangkan hasab kedua,
adalah hasab haqiqi yang berupa suatu sifat yang terus melekat pada seorang
hamba, dan itu merupakan keindahan serta perhiasan yang ada pada dirinya. Hasab
ini sangat baik buat agama dan dunia. Hasab ini berupa akhlaq mulia yang
mencakup; kemurahan hati yang luas, sabar, pemaaf, selalu berbuat baik dan
ihsan, memaafkan gangguan dan keburukan orang lain, serta menggauli segala
tingkatan manusia dengan akhlaq yang baik.
Kita juga bisa
mengatakan bahwa akhlaq mulia itu terbagi menjadi dua. Pertama, akhlaq mulia
bersama Allah I. Yaitu jika seorang hamba menghadapi
hukum-hukum Allah I yang syar`iyyah maupun qadariyyah dengan
penuh keridhaan, menerima ketentuan-Nya, patuh terhadap syariat-Nya dengan
penuh tuma`ninah dan keridhaan, serta mensyukuri Allah I atas segala nikmat
yang dikaruniakan terhadap dirinya. Apakah itu berupa perintah, taufiq, atau
bersabar dan ridha atas taqdir yang pahit.
Kedua, akhlaq mulia
bersama makhluk. Yaitu memberikan harta yang dimiliki, bersabar atas gangguan,
dan tidak memberikan gangguan kepada siapa pun. Seperti firman Allah I yang berbunyi, “Jadilah engkau seorang
yang pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, dan jangan dimasukkan ke
dalam hati perbuatan orang-orang yang bodoh itu.” (QS. Al-A`raaf: 199) Juga firman-Nya, “Dan tidaklah sama
kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,
sehingga seseorang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, tiba-tiba ia
menjadi seperti seorang teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik, tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS.
Fushshilat: 34-35)
Jadi, barangsiapa
melaksanakan akhlaq mulia bersama Allah I dan bersama para
makhluk, berarti ia telah mendapat kebaikan dan keberuntungan. Allahu a`lam.
Dikutip dari
Syarah Lengkap 99 Hadits Perihal Amaliyah Muslim Sehari-hari, PT. EFMS,
Surabaya, Jawa Timur. Dapatkan bukunya sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Dukung
dakwah kami dengan doa, komentar dan dukungan finansial.
Admin: Ali Akbar