Menjadi Kaya Dengan Mandiri


Kemandirian adalah syarat sekaligus bukti kesuksesan. Kemandirian adalah menjauhkan diri dari menggantungkan diri kepada manusia untuk menyelesaikan urusan pribadi. Kemandirian bukan berarti menjauhkan diri dari bekerja sama, bahkan bekerja sama sangat dianjurkan dalam Islam. Yang dilarang dan bertentangan dengan syariat kemandirian adalah membatasi kemampuan diri sehingga menganggap diri tidak mampu mengatasi persoalan pribadi yang sudah menjadi tanggung jawabnya, padahal sebetulnya mampu jika mau mengeksplornya.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ بِالْغِنَى: إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ
"Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yang mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang segera atau kecukupan yang segera." [HR Ahmad (I/389, 407, 442), Abu Dâwud (no. 1645), at-Tirmidzi (no. 2326), dan al-Hâkim (I/408). Lafazh ini milik Abu Dâwud]
‘Ali Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (4/1316, Asy-Syamilah) menjelaskan makna faaqat adalah kebutuhan mendesak, lebih mendesak daripada kefaqiran dan kehidupan yang sempit… Ath-Thibi menyatakan makna hadits ini adalah kalau seseorang meminta-minta bantuan kepada orang-orang untuk mengatasi faaqatnya, niscaya hajatnya tidak akan terlaksana dan faaqatnya tidak akan sirna, serta akan menyusul faaqat-faaqat lainnya yang lebih berat.
Kematian yang segera menurut ‘Ali Al-Qari adalah akan diwafatkan sesegera mungkin dalam keadaan kaya lantas kekayaannya diwarisi pewarisnya. Menurut Al-Qari, ini sesuai dengan firman Allah QS. Ath-Thalaq: 2-3. Sementara kecukupan yang segera adalah akan diberi harta dan dijadikan kaya. Menurut Ath-Thibi ini sesuai dengan QS. An-Nur: 32.
Hadits ini mengajarkan kepada kita untuk selalu berharap bantuan dan mengiba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadits ini tidak melarang minta bantuan kepada manusia secara mutlak. Apalagi dalam hadits lain Rasulullah membolehkan meminta bantuan kepada orang lain. Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuh.” [HR. An-Nasai no. 2600; At-Tirmidzi no. 681]
Dalam hadits lain Rasulullah memberikan persyaratan yang sangat ketat dan rinci tentang alasan diperbolehkannya meminta. Dari Qobishoh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, 'Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan', maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qobishoh, adalah haram dan orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” [HR. Muslim no. 1044]
(brilly/faedah.com)

Related

BISNIS 1169988524385928883

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Assalamu'alaikum

Selamat datang di Faidah Islamiyyah. Semoga apa yang kami sajikan bermanfaat untuk Anda. Sampaikan saran dan komentar melalui 081515526665 atau 082140888638!
Please install the Flash Plugin

Hot in week

Comments

Citizen Journalist

Kirim tulisan inspiratif Anda melalui faidahislamiyyah@gmail.com. Sertakan identitas dan blog Anda.
item