Jahiliyyah di dalam Al-Qur`an
http://faidahislamiyyah.blogspot.com/2014/10/jahiliyyah-di-dalam-al-quran.html
Islam sangat membenci kebodohan. Karena, kebodohan adalah
sumber malapetaka. Selama manusia tenggelam dalam lumpur kebodohan, selama
itulah manusia akan merasakan derita. Dan akibat terbesar yang dialami umat
manusia karena kebodohan adalah penyimpangan akidah atau keyakinan.
Kata ”jahiliyyah” yang secara bahasa berarti kedobohan,
yang disematkan kepada kaum musyrikin sebelum datang Islam adalah terma yang
merangkum keseluruhan makna penyelewengan dalam beribadah, kezaliman dan
pembangkangan terhadap kebenaran. Jahiliyah terbesar adalah penyembahan kepada
selain Allah atau syirik. Ia adalah ciri paling dominan untuk kata jahiliyah.
Karena itu, masa sebelum pengutusan yang bergelimang kesyirikan disebut jaman
jahiliyah.
Menurut para ulama, pada asalnya kata jahiliyyah merujuk
pada makna kondisi bangsa Arab pada periode pra-Islam. Kondisi yang diliputi
kebodohan tentang Allah, Rasul-Nya, syariat agama, berbangga-bangga dengan
nasab, kesombongan dan sejumlah penyimpangan lainnya. Namun jahiliyah juga bisa
berupa sifat yang ada pada seseorang yang sudah memeluk Islam. Jahiliyah dengan
makna ini ditunjukkan oleh sabda Rasul yang berbunyi,
“Ada empat perkara jahiliyyah yang tidak ditinggalkan
umatku…” (HR. Muslim)
Juga hadis lain yang Rasulullah ucapkan kepada Abu Dzar,
“Sesungguhnya pada dirimu ada sifat jahiliyyah.” (HR.
Bukhari Muslim)
Intinya, jahiliah adalah kata untuk seluruh perkara yang
bertentangan dengan ajaran Islam, baik pelanggaran besar yang berakibat
kekafiran atau pelanggaran kecil yang tidak berakibat kekafiran. Semuanya
dikatakan jahiliyah karena seluruh pelanggaran atau perkara yang bertentangan
dengan ajaran Islam tidak mungkin bersumber dari ilmu, melainkan dari
kebodohan. Baik pelanggaran itu disebabkan karena ketidaktahuan atau karena
dominasi hawa nafsu yang mengalahkan dorongan keimanan.
Dalam Al-Quran, kata jahiliyah disebutkan oleh Allah
sebanyak empat kali. Masing-masing disebutkan dalam konteks sebagai sebuah
keyakinan, sistem, prilaku dan watak. Untuk lebih jelas, kita akan uraikan
ayat-ayat tersebut satu persatu.
Keyakinan
Allah berfirman,
ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ
الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ
أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ
الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ
الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ
لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ
إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ
مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan
kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu,
sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka
menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka
berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan
ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka
menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu;
mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan)
dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”.
Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah
ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”.
Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk
membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati
(QS. Ali ‘Imran : 154)
Dalam ayat ini, Allah merekam cuplikan peristiwa yang
pernah terjadi pada masa Rasulullah bersama para sahabat. Persisnya pada saat
kegentingan perang yang akan dihadapi oleh kaum muslimin. Perang yang akan
mereka hadapi adalah perang Uhud, perang besar kedua setelah perang Badar
Kubra. Pasukan muslim menderita kekalahan dalam perang tersebut.
Dalam kondisi genting itu, Allah memberikan pasukan
muslimin rasa tenang dan aman, dengan kantuk yang Allah karuniakan. Sambil
memegang persenjataan perang, kaum muslimin saat itu dihinggapi rasa kantuk.
Seorang sahabat yang mengalami kejadian itu, Abu Thalah, mengisahkan, ”aku
adalah salah satu diantara orang-orang yang disergap rasa kantuk pada hari
perang uhud hingga pedang yang aku pegang berulang kali terjatuh. Terjatuh,
lalu aku raih lagi. Terjatuh lagi dan aku raih lagi” (HR. Bukhari).
Itu adalah kondisi kaum muslimin yang beriman,
berkeyakinan kokoh dan tawakal saat itu. Mereka adalah orang-orang yang
senantiasa tenang ketika menghadapi situasi apa pun. Adapun orang-orang
munafik, yang saat itu juga bersama kaum muslimin, Allah kisahkan dalam ayat
tersebut adalah orang-orang yang cemas, takut dan dihinggapi kegetiran yang
sangat. Yang menyebabkan mereka tersiksa dalam kondisi itu adalah, sebagaimana
yang dikabarkan Allah dalam ayat ini, karena mereka menyangka yang tidak benar
terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah.
Dzan al-Jahiliyyah, atau prasangka jahiliah yang
terdapat dalam ayat ini digunakan untuk mewakili suatu kondisi keyakinan, yaitu
keyakinan yang lemah, dangkal dan dipenuhi keraguan.
Sistem Hukum
Allah berfirman,
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ
بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ
النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ
مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (50)
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?” (QS. Al-Maidah : 49-50)
Ayat ini menerangkan perintah Allah dalam menegakkan
sistem hukum yang telah Allah turunkan bagi segenap manusia di muka bumi. Hukum
Allah adalah hukum yang paripurna dan paling adil. Tidak ada keadilan kecuali
jika hukum Allah diterapkan bagi segenap kehidupan manusia di dunia. Selain
hukum Allah, tidak ada hukum yang akan sanggup menciptakan kemakmuran,
kesejahteraan dan keharmonisan bagi seluruh makhluk yang hidup di atas muka
bumi ini.
Perintah untuk melaksanakan hukum Allah, dalam ayat ini
Allah lanjutkan dengan larangan mengikuti hawa nafsu. Ini artinya, bahwa selain
hukum Allah, apa pun bentuknya, adalah hukum dan aturan yang berdasarkan hawa
nafsu manusia. Hukum-hukum yang diciptakan dengan reka-reka akal manusia
bukan hukum yang menjamin kehidupan yang baik di dunia, terlebih lagi di
akhirat kelak. Semua hukum itu sesat dan sangat jauh dari kebenaran. Allah
berfirman, ”…maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan” (QS.
Yunus : 32)
Pada ayat yang kedua, Allah mengingkari orang-orang yang
melenceng dari hukum Allah. Sistem hukum selain milik Allah itu Allah nyatakan
dalam ayat kedua tersebut sebagai hukmul jahiliyyah atau sistem hukum jahiliah.
Yaitu sistem hukum dan aturan hidup yang bersumber dari kebodohan, seperti yang
pernah dilakukan oleh orang-orang musyrik sebelum datang Islam.
Bagi orang-orang yang bertauhid bersih dan beriman kuat,
sistem hidup yang Allah letakkan adalah sistem yang paling baik. Mereka tidak
menginginkan hukum selain yang Allah turunkan. Mereka tidak alergi dengan hukum
itu apalagi sampai membenci, memerangi dan menjegal penerapannya. Karena
ketundukan yang diperolehnya dari rasa iman dan tauhid yang telah mengkristal
itulah mereka sangat percaya menggantungkan semua hidupnya diatur oleh Dzat
yang Mahatahu, Mahaberkuasa dan Maha bijaksana.
Watak
Allah berfirman,
إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي
قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ
سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ
التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمًا (26)
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka
kesombongan (yaitu) kesombongan (hamiyyah) jahiliah lalu Allah menurunkan
ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan
kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu
dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS.
Al-Fath : 26)
Ayat ini turun menanggapi sikap kaum musyrikin Quraisy
dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyyah. Mereka menolak Nabi dan rombongan para
sahabat sebanyak tujuhratus orang memasuki Mekkah untuk melaksanakan umrah pada
tahun itu. Mereka juga menolak kalimat “bismillahirr rahmanir rahim” saat akan
dituliskan dalam lembar perjanjian. Namun kaum muslimin saat itu diberikan
Allah ketenangan. Mereka bersabar dan tidak terbawa emosi. Mereka tetap
mematuhi ketentuan Allah.
Ayat ini menggambarkan kondisi hati kaum musyrikin yang
dipenuhi watak kesombongan dan fanatisme kelompok. Reputasi semu ke-kaum-an
yang mereka banggakan membuatnya merasa tidak pantas memakai sesuatu di luar
tradisinya. Sikap pembelaan atas dasar kelompoknya telah membutakan hati mereka
dari kebenaran. Itulah kaum musyrikin Quraisy dulu yang sombong, angkuh dan
keras kepala. Watak buruk itulah yang menghalangi sampainya hidayah dan ilmu
kepada mereka.
Padahal kebenaran telah jelas bagi mereka. Sama sekali
mereka tidak dapat mematahkan argumentasi kebenaran Islam. Justru Islam
membeberkan kepada mereka bahwa landasan kebenaran yang mereka yakini itu tidak
berdaya, lemah dan dangkal. Tidak pantas lalu keyakinan yang berdasar pada
dasar yang rapuh itu masih diikuti, dibela, diperjuangkan dan dipertahankan
dengan membabi-buta.
Perilaku
Allah berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ
الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ
عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33)
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku (tabarruj) seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab : 33)
Ayat ini melarang para wanita kamu muslimin untuk berhias
dan bertingkah laku (tabarruj) seperti orang-orang jahiliah. Wanita jahiliah
adalah wanita yang tidak mengenal kesopanan dalam berpakaian, bertingkah laku
dan bergaul dengan lawan jenis. Karena tingkah laku yang tanpa aturan itu,
fahisyah dan kemungkaran tersebar di mana-mana.
Islam kemudian datang dengan sejumlah aturan yang
membatasi pergaulan dan interaksi kaum wanita. Demi keseimbangan sosial dan
kenyamanan hidup bermasyarakat, etika pergaulan ini Allah tetapkan agar
ketimpangan dan keserawutan hidup bisa dicegah dan ditanggulangi. Tentu saja
sejumlah aturan ini bukan untuk memasung kebebasan dan mengerangkeng hak-hak
hidup manusia.
Persoalan interaksi tidak bisa berjalan dengan bebas
aturan dan sekehendak hati. Proses interaksi yang kondusif dan benilai positif
adalah akumulasi dari prilaku masyarakat yang tertib, bertanggungjawab dan
mengindahkan norma-norma pergaulan. Tanpa hal itu, ketentraman hidup yang
menjadi cita-cita bersama akan sulit dipertahankan.
Referensi:
Sabilulilmu.wordpress.com
Editor:
Brilly El-Rasheed
Admin:
Rara Putri
Iklan
Rp 50.000,-/bulan, hubungi faidahislamiyyah@gmail.com